Kisah Dzulqarnain

Dzulqarnain adalah seorang raja yang shalih, dan Allah Subhanahu WaTa’ala telah memberinya kekuatan yang menyebabkan kerajaannya berdiri kokoh dan melakukan sejumlah ekspansi dengan sukses yang tidak diberikan kepada selainnya.



Kemudian Allah menceritakan tentang perilakunya yang baik, kasih sayangnya, kekuatan kerajaannya dan ekspansinya yang meliputi wilayah timur dan barat, yang dengannya dapat tercapai tujuan yang dimaksud dengan sempurna yaitu mengetahui biografi dan perilakunya. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا [الكهف : 83]

“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.” (Al-Kahfi: 83). Yakni sebagian beritanya.

Perlu diketahui, bahwa apa yang dikisahkan Allah dalam kitab-Nya adalah sesuatu kisah yang sangat baik dan sangat bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala menceritakan, bahwa Ia telah memberinya segala sesuatu yang menjadi sebab kerajaannya kuat dan berdiri kokoh, ilmu politik, managemen yang baik, senjata yang dapat diandalkan untuk menaklukkan sejumlah bangsa, pasukan tentara yang banyak, sejumlah alat dan sarana yang memberi kemudahan dan seluruh kebutuhannya. Di balik semua itu; bahwa ia telah melaksanakan semua sebab yang telah diberikan oleh Allah, dimana tidak setiap orang diberi sebab-sebab yang bermanfaat serta tidak setiap orang yang diberinya mengikuti dan melaksanakannya.

Adapun Dzulqarnain, maka ia diberi kesempurnaan dalam dua hal, yaitu: diberi sebab, kemudian ia melaksanakannya. Ia membawa pasukan tentaranya yang besar menaklukkan negara-negara Afrika baik yang dekat maupun yang jauh hingga ke negara-negara yang ada di sekitar laut yang berlumpur hitam yang meliputi negara-negara barat, yaitu tempat terbenamnya matahari, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ [الكهف : 86]
“Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam.” (Al-Kahfi: 86).

Yakni ia melihat matahari menurut pandangan matanya seakan-akan terbenam dalam laut, dimana warna airnya hitam pekat seperti lumpur yang hitam.

Maksudnya, ia sampai di negara-negara Afrika sekiranya sepatu dan kaki binatang berhenti (penghujung negara-negara Afrika), dan ia menemukan di negara atau tempat itu suatu kaum yang terdiri dari orang muslim dan orang kafir, orang baik dan orang jahat, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah Ta’ala,

قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا [الكهف : 86]
“Kami berkata, “Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” (Al-Kahfi: 86).

Adapun yang mengatakan perkataan itu kepadanya adalah salah seorang nabi dari nabi-nabi Allah atau salah seorang ulama pada masa itu. Atau maknanya; karena kekuatannya yang luar biasa, sehingga ia memiliki pilihan dalam menggunakan kekuatannya. Jika maknanya tidak demikian, maka sebagaimana diketahui, bahwa syara’ (agama) tidak mungkin menyamakan di antara dua hal yang saling bertentangan, yakni menggunakan kekuatannya dalam hal kebaikan dan kejahatan. Dzulqarnai berkata,

“Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya, lalu Dia mengadzabnya dengan adzab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami.” (Al-Kahfi: 87-88).

Ini sebagai bukti keadilannya. Ia adalah seorang raja yang shalih dan memiliki perilaku yang baik. “Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).” (Al-Kahfi: 92).

Yakni kemudian ia melaksanakan sebab-sebab yang lainnya setelah menaklukkan penduduk negara-negara barat, maka ia pun kembali menaklukkan negara demi negara hingga tiba di negara tempat matahari terbit yaitu negara Cina dan negara-negara yang berada di pesisir laut Samudra Pasifik, dan itulah akhir perjalanan para penakluk (pasukan tentara Dzulqarnain) tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,  

“Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu.” (Al-Kahfi: 90).

Yakni tidak ada pelindung bagi mereka dari sengatan sinar matahari, karena mereka tidak memiliki pakaian yang mereka tenun yang dapat dipakai dan tidak memiliki rumah yang bisa dijadikan tempat bermalam dan berteduh. Yakni Dzulqarnain menemukan kaum itu di negara paling timur; dimana keadaannya sebagaimana telah disebutkan, keganasannya seperti binatang buas, berlindung ke semak-semak, kehidupannya bergantung pada perubahan alam (iklim) dan merupakan suku terasing. Pada waktu itu, kaum tersebut hidup dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Allah Ta’ala.

Maksud dari pernyataan di atas bahwa Dzulqarnain mampu mengadakan ekspansi yang tidak mampu dilakukan siapa pun. Setelah itu Dzulqarnain kembali ke negaranya dan melakukan sebab-sebab lain yang memungkinkannya untuk menaklukkan sejumlah negara dan menundukkan sejumlah penduduk di wilayah utara, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung.” (Al-Kahfi: 93). Yakni wilayah yang terletak di antara dua buah gunung yang telah ada semenjak Allah Subhanahu WaTa’ala menciptakan bumi, dimana keduanya adalah mata rantai gunung-gunung yang besar dan tinggi yang berhubungan satu sama lain pada celah yang menjadi tempat pertemuan antara laut-laut di wilayah timur dengan laut-laut di wilayah barat yang terletak di negara Turki.

Mengenai adanya tempat itu, para ahli tafsir dan para ahli sejarah telah sepakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal: apakah tempat itu merupakan mata rantai gunung-gunung Al-Qafqas atau yang lainnya di Azerbaijan, atau mata rantai gunung-gunung Tay atau gunung-gunung yang bersambung dengan tembok Cina di negara Mongolia? Terlepas dari semua perbedaan yang ada; bahwa di celah kedua gunung itu hidup suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan, karena bahasa mereka yang jauh berbeda dengan bahasa-bahasa yang ada ketika itu dan pemahaman mereka yang lemah akan bahasa umat-umat yang lainnya. “Mereka berkata, “Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Kahfi: 94). Mereka ialah suatu umat yang besar yang berasal dari keturunan Yafits bin Nuh Alaihis Salam yang terdiri dari bangsa Turki dan selain mereka, dimana perilaku serta sifat mereka adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Mereka berkata, “… maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka.” Dzulqarnain berkata, “Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya …” (Al-Kahfi: 94-95) dari kekuatan, sebab-sebab serta kekuasaan “… adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat),” (Al-Kahfi: 95), yakni pembangunan dinding itu adalah sebuah pembangunan yang besar, sehingga membutuhkan bantuan yang dapat membantu kekuatan badan “… agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (Al-Kahfi: 95). Dalam hal ini, Dzulqarnain tidak menggunakan kata saddan seperti yang digunakan oleh mereka, melainkan menggunakan kata radman karena tempat yang akan dibangunkan di atasnya sebuah dinding adalah celah dan tempat pertemuan di antara dua gunung yang alami yang merupakan mata rantai dari gunung-gunung yang ada.

Kemudian Dzulqarnain menjelaskan kepada mereka tentang tata cara penggunaan alat-alat dan pembangunan dinding itu, seraya berkata, “Berilah aku potongan-potongan besi.” (Al-Kahfi: 96). Yakni kumpulkan di hadapanku seluruh potongan-potongan besi yang ada; baik yang kecil maupun yang besar, dan jangan kamu sisakan sedikit pun dari potongan-potongan besi itu, kemudian seluruh potongan-potongan besi itu kamu tumpukan di antara kedua gunung tersebut. Mereka melakukan perintah tersebut, sehingga potongan-potongan besi tersebut menjadi suatu tumpukan yang besar yang menyamai ketinggian kedua gunung tersebut, sebagaimana hal itu dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu.”


(Al-Kahfi: 96), yakni gunung-gunung yang mengitari dinding tersebut. Dzulqarnain berkata, “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas it.” (Al-Kahfi: 96). Yakni ia meminta agar dibawakan cairan tembaga, lalu ia menuangkannya di antara potongan-potongan besi itu, sehingga satu sama lain saling menempel dan membentuk sebuah gunung yang tinggi yang menghubungkan kedua buah gunung tersebut.

 Dengan pembangunan dinding itu, maka tercapailah tujuan yang dimaksud, yaitu terhindar dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj, sehingga Dzulqarnain berkata, “Maka mereka tidak bisa mendakinya.” (Al-Kahfi: 97), yakni memanjat dinding tersebut

“… dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.” Dzulqarnain berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku.” (Al-Kahfi: 97-98), yakni Rabbku yang telah menolongku dalam mewujudkan pekerjaan yang besar ini dan sebagai sebuah peninggalan yang bagus, kemudian Rabbku merahmatimu dengan menjauhkanmu dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj dengan sebab pembangunan dinding itu yang kamu tidak memiliki kesanggupan untuk membangunnya (jika bukan karena rahmat dan pertolongan-Nya). “… maka apabila sudah datang janji Rabbku. Dia akan menjadikannya hancur luluh.” (Al-Kahfi: 98),

 yakni pekerjaan tersebut dan dinding penghalang antara kamu dan Ya’juj dan Ma’juj hingga batas waktu yang telah ditentukan. Jika batas waktu itu telah datang, niscaya Allah akan mentaqdirkan atas mahluk-Nya sebab-sebab yang mendatangkan kekuatan, kemampuan, sejumlah pembangunan dan penemuan yang luar biasa yang tidak memungkinkan bagi Ya’juj dan Ma’juj menginjakkan kaki di negaramu, hai orang-orang yang bertetangga (dengan keduanya), bahkan keduanya tidak dapat menginjakkan kaki di belahan bumi bagian timur atau barat dan menjelajahi pelosok-pelosoknya, sebagaimana Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman,

“Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya’: 96). Yakni dari berbagai tempat yang tinggi, baik dari tempat yang setinggi dinding tersebut, dari lautan-lautan dan tempat-tempat tinggi yang menjulang ke langit. “Mereka akan turun dengan cepat.” (Al-Anbiya’: 96),

yakni Ya’juj dan Ma’juj akan turun dengan cepat tanpa peduli dengan rintangan yang menghadang mereka. Ungkapan “dari seluruh tempat yang tinggi” mencakup seluruh tempat dan seluruh pelosok baik yang mudah dijangkau maupun yang susah, yang rendah maupun yang tinggi. Adapun Allah menyebutkan tempat-tempat yang tinggi, karena tempat-tempat yang tinggi saja dianggap mudah oleh Ya’juj dan Ma’juj maka tentunya tempat-tempat yang rendah akan lebih mudah dan lebih gampang bagi keduanya.

Berkenaan dengan sifat Ya’juj dan Ma’juj ini terdapat sejumlah keterangan dalam sejumlah hadits yang menguatkan sifat-sifat mereka yang telah dijelaskan di dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Sedang sejumlah ahli sejarah yang terdahulu menjelaskan mengenai sifat dan perilaku Ya’juj dan Ma’juj hanya sebagai sebuah peristiwa sejarah, bukan sebagai tali pengikat serta bukan pula tali pengendali, sehingga hal itu membingungkan pikiran kebanyakan manusia serta menghalangi mereka dari berdalil kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih serta menerapkannya dalam peristiwa yang terjadi. Sudah semestinya anda memegang teguh penjelasan atau keterangan yang dikemukakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan meninggalkan penjelasan atau keterangan lainnya, karena di dalamnya mengandung petunjuk, bimbingan dan cahaya.
 [ aldyblue.blogspot.com ]

DISALIN DARI
Previous
Next Post »