Baik dan Buruk dan Alasan Kewajiban

Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala telah memberikan fitrah kepada manusia untuk melihat kebaikan dalam berbagai benda dan perbuatan. Kejujuran dan keadilan, kelembutan dan kebaikan, keramahan dan keindahan, semua itu dipandang baik oleh manusia berdasarkan fitrahnya yang telah dianugerahkan Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala kepada kita, hamba Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala.
Demikian pula dengan perkara-perkara buruk yang berkaitan dengan perbuatan dan benda-benda dipandang buruk oleh manusia. Hal ini juga diketahui oleh manusia berdasarkan fitrah yang suci dan murni. Oleh karena itu, kezaliman, kedustaan, dan kejahatan merupakan perkara-perkara yang tercela.


Ketika syariat Ilahi dikebumikan sesuai dengan apa yang terpusat pada fitrah manusia, maka ia turun untuk menetapkan apa-apa yang telah wujud dalam fitrah tersebut. Syariat menguatkan keburukan sesuatu yang asalnya buruk, sebagaimana ia menegaskan kebaikan sesuatu yang baik bahkan memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan.

Namun demikian, meskipun persoalan ini muncul hanya dihadapkan pada orang-orang yang berakal, ia menjadi salah satu titik perbedaan yang besar di kalangan beberapa golongan, terutama golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah…. Persoalan ini dikenal dengan istilah “masalah baik dan buruk, apakah keduanya ditentukan berdasarkan akal atau syariat (wahyu)?”

Sebelum turunnya perintah dan larangan tidak ada keburukan yang akan dikenakan sangsi (balasan) karena keburukan yng ada pada dirinya, dan Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala tidak akan memeberi balasan kecuali setelah mengutus rasul-rasu-Nya. Sebagaimana firman Alloh, yang artinya: “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15).
Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Alloh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Alloh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90).

Qatadah mengatakan, “Perbuatan baik yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah bukanlah suatu kebaikan hingga Alloh memerintah mereka melakukannya melalui ayat ini, dan bukan pula suatu keburukan apa-apa yang dianggap tercela di kalangan mereka hingga Alloh melarang mereka dan menyebutnya buruk, dan Dia hanya melarang perbuatan-perbuatan yang kotor dan tercela. (Tafsir ath-Thabari, juz 8, h. 163).

Imam Ali berkata, “Ketika Alloh memerintahkan kepada nabinya untuk menghadapi kabilah-kabilah Arab, beliau keluar dan menemui mereka pada suatu majelis dari kaum Syaiban bin Tsa’labah. Beliau mengajak mereka masuk Islam dan menolongnya. Salah seorang di antara mereka, Mafruq bin ‘Amr bertanya, ‘Wahai Saudara Quraisya, ke mana engkau mengajak kami?’ Maka Rasulullah saw membacakan ayat yang artinya, “Sesungguhnya Alloh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat.” Ia berkata, “Demi Alloh, engkau telah mengajak kami pada akhlak yang mulia. (Dala’il an-Nubuwwah, al-Baihaqi, juz 2, h. 422/425; Dala’il an-Nubuwwah, Abu Nu’aim, juz 1, h. 203 — 207).

Landasan Penentuan Perintah dan Pahala
Perbuatan baik dan buruk dapat saja ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal, tetapi pahala dan siksa tidak dapat ditentukan kecuali dengan adanya syariat. Maka, hal yang sebaliknya dari problematika akal adalah bahwa ia tidak berhak menetapkan siksa kecuali dengan diutusnya rasul sebagaimana telah ditunjukkan oleh Alquran dan Sunnah. Jika hal ini telah ditetapkan demikian, maka ditetapkan pula bahwa perintah (kewajiban) tidak ditentukan kecuali dengan syariat. Oleh karena itu, wajibnya erintah dan haramnya larangan tidak ditentukan kecuali dengan syariat, dan sama sekali tidak ada intervensi akan di dalamnya. Hal itu terjadi karena pahala dan siksa masing-masing tergantung pada ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan atau sebaliknya, yakni melanggar perintah dan melakukan larangan, dan ini hanya terjadi berdasarkan tuntunan syariat, bukan yang lain. Dengan demikian, fitrah akal dan ra’yu (pendapat) tidak dapat menjadi landasan bagi penentuan perintah yang dapat ditegakkan di atasnya hujjah bagi makhluk, kecuali wahyu dan diutusnya seorang rasul.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Makhluk tidak mengetahui apa yang dicintai dan diridhai oleh Alloh, perintah-Nya dan larangan-Nya, karamah-Nya yang dijanjikan kepada wali-wali (penolong-penolong) -Nya dan siksa-Nya yang dijanjikan untuk musuh-musuh-Nya. Mereka juga tidak mengetahui hak Alloh dari nama-nama yang baik (asma al-husna) dan sifat-sifat-Nya yang agung yang akal tidak mampu mengetahuinya dan hal-hal yang serupa dengan itu, kecuali melalui rasul-rasul-Nya yang telah diutus Alloh kepada hamba-hamba-Nya.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul-Fatawa, juz 1, h. 121).

Di antara ayat-ayat Alquran yang menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Alloh dan sifat-sifat-Nya diperoleh melalui pendengaran (as-sama’u) dan bukan melalui akal adalah:
Firman Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala, yang artinya: “Maka ketahuilah bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Alloh dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Alloh mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad: 19).

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu; tidak ada Ilah selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am:106).
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tidak ada Ilah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiya: 25).

Menurut Imam al-Lalaka’i Rahimahullah bahwa ayat yang terakhir mengandung pengertian bahwa Alloh telah memberitahukan kepada nabi-Nya (Muhammad) bahwa nabi-nabi Alloh terdahulu tidak mengetahui tauhid kecuali melalui pendengaran dan wahyu. (Syarh I’tiqad Ahlu Sunnah, juz 1, h. 195).

Imam al-Lalaka’i Rahimahullah juga mengatakan, Demikian pula halnya dengan kewajiban mengetahui rasul, hal ini ditentukan berdasarkan pendengaran. Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu semua, yaitu Alloh yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang brhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Alloh dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 158),

firman-Nya, yang artinya: “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15), firman-Nya, yang artinya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Alloh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 165), juga firman-Nya, yang artinya: “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tidak pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat Gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (Kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Rabbmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Qurasy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat. Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: ‘Ya Rabb kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin,” (QS. Al-Qashash: 44 — 47), dan firman-Nya, yang artinya: “Dan mereka berkata, ‘mengapa ia tidak membawa bukti kepada Kami dari Rabbnya? Dan apakah belum datang kepada mereka bukti yang nyata dari apa yang tersebut di dalam kitab-kitab yang dahulu? Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Alquran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS. Thaha: 133-134).

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Alloh dan rasul-Nya diperoleh melalui pendengaran, sebagaimana diberitahukan oleh Alloh Azza wa jalla, dan ini adalah pandangan Ahlu Sunnah wal Jamaah. (Syarh I’tiqad Ahlu Sunnah, juz 1, h. 196).
Syaikh Shalih bin Hamid mengatakan, “Di antara beberapa persoalan yang telah ditetapkan di dalam syariah adalah syarat menentukan suatu kewajiban (taklif) melalui suatu perintah di antara perintah-perintah yang datang dari Alloh (syari’) adalah pengetahuan mukallaf tentang tuntutan syari’ (pembuat syariat/Alloh) kepadanya untuk melaksanakan perintah-Nya.” (Raf’u al-Haraj fi asy-Syariah al-Islamiyah, 229; lihat pula Mizan al-Ushul fi Nataij al-’Uqul, juz 1/h. 285).
Dengan demikian, wayhu Alloh  Subhanallohu Wa Ta’ala dan syariatnya merupakan hujjah bagi makhluk-Nya. Alloh  Subhanallohu Wa Ta’ala memiliki hikmah yang sempurna dalam menciptakan makhluk-Nya, seraya berfirman, yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Kemudian Alloh  Subhanallohu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan Dia tidak membiarkan mereka sia-sia, sebagaimana firmanNya, yang artinya: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban).” (QS. Al-Qiyamah: 36).
Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala Maha Adil di antara yang paling adil. Dia tidak mengazab hamba-hamba-Nya kecuali setelah Dia memberikan peringatan kepada mereka dengan mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya, sehingga Dia tidak akan menghukum mereka sebelum Dia menegakkan hujjah-Nya di hadapan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, h. 28 dan lihat pula Fathul Qadir, juz 3, h. 214).
(Sumber Rujukan: Al-Jahl bi Masail al-I’tiqad wa Hukmuhu, Abdurrzzaq bin Thahir bn Ahmad Ma’asy)

Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari tsaqofah.wordpress.com
Previous
Next Post »