Hukum Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil

Sungguh sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda pada zaman sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan para orang tuapun ikut andil. Karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal demikian. Bahkan ada diantara orang tua yang kurang paham agama, menganjurkan kepada anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina. Para orang tua banyak yang tidak mendidik anak-anak dengan pendidikan Islam.


Akibat dari pergaulan gaya barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana dan bukan lagi menjadi masalah tabu. Kita sering mendengar ada anak yang terlahir dari hasil hubungan di luar nikah. Bahkan untuk menutupi aib maksiat (baca: hamil di luar nikah) yang dilakukan justeru mereka menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Yaitu menikahkan kedua pelaku maksiat. Setelah si laki-laki menghamilinya, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil. Atau meminjam seseorang untuk menikahinya dengan dalih menutupi aibnya.

Apakah pernikahan seperti itu sah? Bagaimana keabsahan perwalian anak yang lahir ataukah sang anak tidak memiliki ayah ?
_______________________________________________

STATUS NIKAHNYA
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat. [1]

Pertama : Dia dan si laki-lakinya taubat dari perbuatan zinanya. [2]
Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

اَلزَّانِيْ لاَ يَنْكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلى الْمُؤْمِنِيْنَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. [3]

Syeikh Al-Utsaimin rahimahulah berkata, “Kita dapat mengambil satu hukum dari ayat ini. Yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahi laki-laki yang berzina. Artinya, seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh (bagi seseorang) menikahkannya kepada puterinya.” [4]

Apabila seseorang telah mengetahui bahwa pernikahan ini haram dilakukan, namun tetap memaksakannya dan melanggarnya, maka pernikahannya itu tidak sah. Dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. [5] Dan bila terjadi kehamilan maka anak itu tidak dinasabkan kepada laki-laki itu (dalam kata lain si anak tidak memiliki bapak). [6] Ini tentunya bila mereka mengetahui, bahwa hal itu tidak boleh. Apabila seseorang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal mengetahui telah diharamkan Allah k, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Karena menghalalkan perkara yang diharamkan Allah, telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bersama Allah Azza wa Jalla dalam membuat syari’at. Allah Azza wa Jalla berfirman.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?[7]

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan orang-orang yang membuat syari’at bagi hamba-hambanya sebagai sekutu. Berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum bertaubat adalah orang musyrik. [8] Namun bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, bila syarat yang kedua terpenuhi. [9]

Kedua : Harus beristibra’ (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. [10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِأَ بِحَيْضَةٍ

Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra’ dengan satu kali haidl. [11]

Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَ يَحِلُّ ِلامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيْ مَاءَه ُزَرْعَ غَيْرِهِ

Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dia menuangkan air (maninya) pada persemaian orang lain. [12]

Mungkin sebagian orang mengatakan anak yang dirahim itu terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainy dan hendak menikahinya. Maka jawabnya ialah sebagaimana dikatakan Al-Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh rahimahullah, “Tidak boleh menikahinya hingga dia bertaubat dan selesai dari ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya. Karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk, dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.” [13]

Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, "Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah bertaubat) ingin menikahinya, maka wajib baginya menunggu wanita itu beristibra’ dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah. Bila ternyata si wanita dalam keadaan hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya kecuali setelah melahirkan kandungannya. Sebagai pengamalan hadits Nabi n yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.” [14]

Bila seseorang tetap menikahkan puterinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu dengan satu kali haidl. Atau sedang hamil tanpa menunggu melahirkan terlebih dahulu, sedangkan dirinya mengetahu bahwa pernikahan seperti itu tidak diperboleh. Dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa hal itu diharamkan sehingga pernikahannya tidak diperbolehkan, maka pernikahannya itu tidak sah. Apabila keduanya melakukan hubungan badan maka itu termasuk zina, dan harus bertaubat kemudian pernikahannya harus diulangi bila telah selesai istibra’ dengan satu kali haidl terhitung dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.

STATUS ANAK HASIL HUBUNGAN DI LUAR NIKAH.
Bagaimana status anak hasil perzinaan tersebut? Padahal biasanya si wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang berzina dengannya. Kemudian si laki-laki itu merasa bahwa si anak itu sebagai anaknya. Sedangkan dia mengetahui kandungan itu hasil perzinaan dengan dia. Menurut syari’at benarkah yang seperti itu ?

Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) telah sepakat. Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya, menaburkan benih itu mengaku yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah,. Karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini sama saja, baik si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami. [15] Jadi anak itu tidak berbapak. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر

Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan) [16]

Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si isteri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy. Karena si suami atau si tuan menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan. [17]

Dikatakan di dalam kitab Al Mabsuth. Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka. Dia mengakui, bahwa anak ini merupakan hasil zina. Si wanita pun membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر

Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan) [18]

Tidak ada firasy bagi si pezina itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina Maksudnya ialah tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu merupakan hak Allah Azza wa Jalla semata. [19]

Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam. [20]

Satu masalah lain. Yaitu bila wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra’ dengan satu kali haidl. Kemudian digauli, hamil dan melahirkan anak. Atau dinikahi sewaktu hamil. Kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah kita jelaskan dimuka (bahwa pernikahan itu tidak sah). Bagaimanakah status anak yang baru terlahir itu ?

Bila orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, (baik) karena taqlid kepada seseorang (ulama) yang membolehkannya, atau tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka anak yang terlahir karena pernikahan seperti itu tidak dinasabkan kepadanya. Sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita dimasa ‘iddahnya. Apabila mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah, atau karena tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ‘iddahnya. Maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya, padahal pernikahan pada masa ‘iddah itu batal (tidak sah) dengan ijma para ulama. Yang berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. [21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa. Beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahannya (sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya Dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram, padahal sebenarnya haram (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).” [22]

Kita sudah mengetahui bahwa anak yang dilahirkan wanita dari hasil hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan sebagai anak si laki-laki yang berzina dengannya. Maka berarti.

1. Anak itu tidak berbapak.
2. Anak itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
3. Bila anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi walinya. Karena dalam pandangan Islam bukan bapaknya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا

Maka sulthan (Pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali. [23]

Kita berdo’a, semoga seseorang yang keliru menyadari kesalahannya dan bertaubat kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya. (Abu Sulaiman).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

_______
Footnote
[1]. Minhajul Muslim
[2]. Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/584, Fatawa Islamiyyah 3/247, Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’ah Al Muslimah 2/5584.
[3]. An Nur : 3.
[4]. Fatawa Islamiyyah 3/246.
[5]. Ibid.
[6]. Ibid 33/245.
[7]. Asy-Syuuraa : 21.
[8]. Syaikh Al-Utsaimin di dalam Fatawa Islamiyyah 3/246.
[9]. Ibid 3/247.
[10]. Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/583, Majmu Al Fatawa 32/110.
[11]. Lihat Mukhtashar Ma’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al-Mundziriy berkata, “Di dalam isnadnya ada Syuraik Al-Qadliy, dan Al-Arnauth menukil dari Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish, bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al-Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.”( Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.)
[12]. Abu Dawud, lihat ,Artinya:’alimus Sunan 3/75-76.
[13]. Fatawa Wa Rasail Asy-Syeikh Muhammad Ibnu Ibrahim 10/128.
[14]. Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah 9/72.
[15]. Al-Mabsuth 17/154, Asy-Syarhul Kabir 3/412, Al-Kharsyi 6/101, Al-Qawanin hal : 338, dan Ar- Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828.
[16]. Al-Bukhari dan Muslim.
[17]. Taudlihul Ahkam 5/103.
[18]. Al-Bukhari dan Muslim.
[19]. Al-Mabsuth 17/154.
[20]. At-Tamhid 6/183 dari At Taisir.
[21]. Al-Mughniy 6/455.
[22]. Dinukil dari nukilan Al-Bassam dalam Taudlihul Ahkam 5/104.
[23]. Hadits hasan Riwayat Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Previous
Next Post »