Lazimnya
sebuah perjuangan, rintangan dan hambatan itu menjadi niscaya. Ketika
lawan menebar hambatan, itu bermakna kita ada kekuatan. Saat jaring-jaring
jebakan terpasang. Itu berarti geliat perjuangan itu nyata. Besarnya
rintangan dan hambatan, justru seiring dengan laju, suhu, dan daya
jelajah perjuangan itu sendiri. Pantas sebuah syair Arab mengatakan,
"Jika suatu bangsa berharap melegenda.
Sepatutnya ia songsong takdir nyata.
Malam itu tak selamanya gelap gulita.
Rintangan apapun akan punah tiada."
"Bangsa yang enggan memeluk peluh kehidupan.
Ia akan tenggelam dan hilang dari peredaran.
Nistalah orang yang hanya mencaci keadaan.
Namun berharap maju dan menjadi pemenang."
Sekian puluh tahun Indonesia
merdeka, kepemimpinan hanya didominasi Bani Soekarno, Bani Soeharto,
Bani Sarwo Edhie, dan para pensiunan yang energi dan visi
ke-Indonesiaannya (jangan tanya visi keIslaman) sangat memprihatinkan.
Alih-alih Indonesia tinggal landas, yang terjadi adalah tinggal ludes.
Apa penyebabnya? Tak lain karena kaum muda Indonesia tak memiliki narasi
yang jelas, dan sibuk dengan narasi-narasi konseptual yang tercerabut
dari realitas.
COba
perhatikan! Saat umat bodoh, miskin, dan termarjinal. Diskusi anak-anak
muda bukan menciptakan pekerjaan dan meningkatkan penghasilan. Tapi
berdebat panjang tentang Golput, Haramnya Demokrasi, Khilafah Syariah
solusinya! Lebih tragis lagi, saat mayoritas umat buta tentang Nabi dan
lebih mencintai perayaan Noni, anak-anak muda sibuk berdebat seputar
Memperingati Maulid Nabi! Narasi yang benar-benar garing. Jauh dari
realita! Umat dimana, para da'i kemana!
Mengapa para juru dakwah mengalami kehilangan narasi? Ada lima penyebabnya:
1. Dunuwwul Himmah (Rendahnya motivasi dan visi hidup).
Dakwah
yang menyulitkan, mengejek, menakut-nakuti, atau menyalah-nyalahkan
adalah model dakwah yang sangat rendah. Apalagi ada pengklaim
memperjuangkan Syariah-Khilafah, namun memosisikan akhlak dan jihad
berada di posisi buncit dalam perjuangannya.
Apalagi paham yang meniadakan nasionalisme dan cinta
tanah air. Rasul saja sempat menangisi Mekkah. Rakyat Palestina hingga
kini tak jelas rimba, saat tanah air direbut paksa Israel. Lalu apakah
kita umat Islam Indonesia harus menyerahkan setiap jengkal tanah kepada
kaum Liberal-Sekuler-Noni-LGBT? Sungguh pemahaman antinasionalisme
adalah paham yang digunakan Zonis-Salibis agar umat Islam enggan
mengurusi negerinya dan membiarkan penjajah menguasai SDA di seluruh
negeri-negeri Islam.
2. 'Adamu Ats-Tsiqqoh bin-Nafsi (Tidak percaya diri).
Mental
tidak percaya diri akan hadir saat juru-juru dakwah memiliki mental
tangan di bawah. Atau tak memiliki prestasi nyata dalam kehidupan.
Faaqidussyai laa yu'thi (orang tenggelam tak mungkin memberi pualam).
Cirinya mudah. Yaitu mudah dengki, hasud, iri. Penyakit SMS (Senang
Melihat orang Susah; Susah Melihat Orang lain Senang). Sibuk mencari
aib. Fitnah dianggap nasihat. Satu lagi, merasa dirinya paling benar dan
paling dekat dengan surga.
Mental ini
ternyata yang marak dalam kehidupan para juru dakwah. Perhatikan para
juru dakwah. Mengaku paling sunnah hanya dengan celana cangkring,
janggut panjang, atau mengibarkan bendera
tauhid. Lalu tidak menjalankan sunnah Nabi yang lain; unggul dalam
pengabdian, luhur dalam akhlak, muncul dalam bisnis-niaga-dagang, agung
dalam kepemimpinan.
3. Ghiyaabul Hadfi (Target/tujuan yang tiak realistis).
Perjuangan
yang tidak jelas targetnya, maka tidak akan jelas fase-fase
perjuangannya. Perjuangannya cenderung; "Pokoke". Sayangnya tidak
terukur dalam teritori tertentu. Sebagai contoh, jika kader satu
organisasi dakwah menguasai satu teritori selama 5 tahun. Maka target
dan sasaran yang ingin dicapai sangat jelas. Anggarannya ada. Aparat dan
birokrasi pelaksana juga tersedia. Lalu bagaimana dengan organisasi
dakwah yang sama sekali tidak memiliki teritori? Jadi RT pun tak pernah!
Lantas ingin memimpin dunia?
4. Sijnul Maadhi (Terpenjara masa lalu).
Sejarah
itu adalah bagian dari kehidupan. Sebagai muslim, kita tak boleh
tercerabut dari akar sejarah. Namun tak boleh juga terkungkung dalam
nostalgia masa lalu. Kita cenderung membangga-banggakan generasi
shahabat, tabi'in, salafus shalih. Namun sayangnya kita tak pernah mampu
menyerap saripati kebesaran mereka untuk direalisasikan dalam kehidupan
saat ini dan akan datang. Lalu kita hanya menjadi narator sejarah,
bukan kreator sejarah!
Kita
agungkan Muhammad AlFatih sebagai Sang Pemusar Gelombang! Namun kita
tak pernah memiliki sifat-sifat yang sama dengan Muhammad Al-Fatih. Lalu
nama AlFatih ditempelkan menjadi "gelar/laqob". Bayangkan namanya
AlFatih, AlFaruq, Al-Al lainnya. Namun akhlak saja tak jelas. Masih hobi
dengan hal-hal syubhat. Menikmati apa yang diharamkan. BUkankah merusak
citra AlFatih?
Sumber: http://www.islamedia.web.id/2014/01/empat-kelemahan-kader-kader-dakwah.html
ConversionConversion EmoticonEmoticon