ISaat mengantarkan Deden ke peristirahatan terakhirnya, aku tak kuasa
menahan air mata. Lelaki yang kukenal tiga belas tahun silam itu kini
pergi. Ribuan orang berbelangsukawa, baik yang ia kenal maupun yang tak
dikenalnya langsung. Semua orang yang akrab dengan karya-karya indahnya
merasa kehilangan. Deden layak menyandang predikat legend dalam dunia
nasyid nusantara.
Deden tak hanya dikenal di Indonesia, komunitas nasyid di Malaysia bahkan sangat menghargai sosoknya sebagai pencipta dan penyanyi. Ia mencapai itu dengan jalan penuh liku dan tak mudah. Ini yang ingin aku ceritakan kembali.
Di tengah suasana sedih melepas kepergiannya di usia yang masih tergolong muda (34 tahun), aku justru memutuskan tak lagi merundung meskipun masih belum bisa percaya Deden pergi secepat itu. Pertemanan yang kami jalin jauh sebelum edCoustic terbentuk, meyakinkanku bahwa ada hal lain yang tak banyak orang tahu tentang Deden. Khalayak luas mengenalnya dengan nama Aden edCoustic, aku ikut serta dalam diskusi mengganti nama publikasinya menjadi Aden. Tapi sosok yang kukenang darinya adalah sosok Deden, sang pejuang yang kegigihannya tiada banding.
Kami pertama kali bertemu di Masjid Salman ITB pada tahun 2000. Kami sama-sama aktif di Keluarga Remaja Islam Majid Salman ITB (Karisma-ITB), ia lebih dahulu masuk beberapa bulan, jadi Deden adalah seniorku di Karisma. Deden tergolong aktivis yang apik dalam bekerja. Ia memang bukan pendebat tangguh dalam ajang diskusi, tapi Deden adalah perancang yang sistematis dan pelaksana yang perfeksionis.
Kesanku terhadap Deden pada masa-masa itu adalah, ia mahasiswa IAIN (sekarang UIN) yang amat bersahaja. Senyumnya selalu hadir dalam setiap obrolan membuat lelaki asal Rancaekek ini cepat akrab dengan siapa saja. Ada satu keistimewaan Deden yang tak dimiliki siapapun di Karisma saat itu. Kami sering mendaulatnya tampil ke depan bernyanyi karena di setiap waktu luang Deden kerap berbendang dengan intonasi pelan-pelan. Awalnya Deden membawakan lagu-lagu nasyid yang tengah populer di awal 2000an, rata-rata nasyid dari negeri jiran. Namun pada beberapa kesempatan Deden membawakan lagu gubahannya sendiri. Disanalah kami tertegun, lagu itu begitu menghipnotis. Pilihan diksinya amat dalam dan nadanya asyik di telinga bahkan saat ia bernyanyi tanpa bantuan alat musik sekalipun. Maka, sejak saat itu Deden menjadi penyanyi yang selalu ditodong pada acara-acara Karisma.
Musik memang mengalir dalam darahnya tetapi banyak tak tahu Deden sebenarnya sulit bermain alat musik. Aku ingat, saat bermain gitar, untuk berpindah dari satu kunci ke kunci lain ia masih amat kaku. Tapi di saat yang bersamaan ia sudah mencipta ratusan lagu. Deden mengenal nada bagaikan anak kecil yang akrab dengan aroma ibunya sendiri.
Pada tahun 2002, Deden pernah menginap di kamar kosku yang terletak tak jauh dari Kampus ITB. Sepanjang malam kami ngobrol mengenai musik. Disitulah aku melihat sosok berbeda dari Deden yang aku kenal di Salman ITB. Saat bicara musik, matanya berbinar, hasratnya pada bidang itu tampak amat menggelora. Malam itu pula Deden menunjukkan lagu-lagu hasil ciptaannya sejak ia masih SMA. Total ada tiga buku yang sudah terisi penuh syair-syair lagu, taksiranku jumlahnya lebih dari 400 lagu. Hebatnya, Deden tak pernah merekam nada setiap syair itu tapi ia pasti langsung tahu bagaimana komposisinya saat kutanya bagaimana menyanyikan syair-syair itu?
Diskusi kami malam itu adalah momen awal aku akrab dengan Deden. Setiap bertemu, Deden memang menunjukkan minat yang amat tinggi di bidang musik.
“Aku ingin jadi pencipta lagu dan penyanyi profesional,” ungkapnya. Ini ia ungkapkan ketika Deden berhasil menjuarai lomba cipta lagu Salman. Ia menulis sebuah lagu hymne untuk Salman dan berhasil meraih juara. Melihat hasratnya yang begitu besar aku hanya sumbang saran agar Deden sering-sering ikut sayembara. Dengan kondisinya saat itu nampaknya hanya sayembara yang menjadi satu-satunya pintu pembuka karirnya di bidang musik. Pada titik ini Deden bukanlah siapa-siapa dalam industri musik atau nasyid.
Ternyata Deden serius, bersama Eggie, sahabatnya di kompleks perumahannya dan juga pembina Karisma-ITB mereka ikut sayembara yang akhirnya membuat mereka terpilih dalam sebuah album kompilasi nasyid. Aku ingat sekali momen itu, Deden dan Eggie bak menemukan harta karun. Ia amat senang dan mengulang lagi niatnya ingin menjadi pencipta lagu dan penyanyi profesional.
Kemudian, Deden terlibat dalam beberapa proyek lagu. Misalnya tahun 2003 kami membuatkan album untuk adik bimbingan di Karisma, grup itu bernama Salika, berisi empat remaja SMP yang senang musik. Deden menuliskan hampir sebagian besar lagu untuk mereka. Beranjak lagi, Deden diminta menulis lagu untuk proyek album Hani & Ina (2004).
Pada setiap jenjang pencapaiannya itu Deden selalu cerita betapa ia sangat mensyukuri kesempatan tersebut meskipun perannya hanya di belakang layar. Menjelang proyek album Hani & Ina rampung, Deden mendapat tawaran dari YESS Production membuat album sendiri tetapi dengan syarat harus mencari nama baru bagi grupnya. Disinilah muncul nama edCoustic yang artinya Eggi & Deden berakustik. Seingatku saat itu ia bagai anak kecil yang riang dikasih hadiah mainan. Deden cerita lagi kalau ia sudah maju selankah mencapai impiannya. Sebagai sahabatnya, aku hanya bisa ikut menyemangati saja. Di sana ia sudah bertemu para musisi yang siap mendukung cita-citanya.
Setelah album pertamanya rilis, Deden dan Eggie memintaku bergabung bersama mereka secara formal, yakni menjadi manajer mereka. Sebelumnya aku hanya rekan diskusinya saja. Tawaran itu sebenarnya sempat kutolak karena saat itu pula aku tengah mengurus beasiswa S2 ke luar negeri.
Tetapi aku amat menghargai semangat Deden yang seolah tak pernah mati. Aku melihat ia begitu serius melakoni jalur musik yang ia pilih. Ia memang sudah dibantu oleh musisi profesional, setengah impiannya sudah terwujud. Tetapi Deden kala itu punya alasan ia perlu orang yang membuatnya nyaman menjalani pilihan hidupnya itu. Sebagai mahasiswa yang baru saja lulus, memilih karir di dunia musik, apalagi lagi masih berstatus indie adalah penuh risiko. Rekan-rekan kami yang lulus sudah sibuk mencari kerja sedangkan Deden mempertaruhkan semuanya demi cita-citanya.
Ia sempat menemukan ujian hidup dan terpaksa bekerja sebagai penyiar radio freelance di MQ FM Bandung dan menjadi petugas call center salah satu operator telepon seluler. Semua itu ia lakoni bersamaan dengan cita-citanya di dunia musik.
Aku ingat sekali momen pertama kali lagu edCoustic diputar di radio. Kami bertiga sampai menitikkan air mata haru, senang, dan berpelukan. Ternyata, Album pertama edCoustic dengan tajuk Masa Muda mendapat respon luar biasa. Hanya perlu waktu satu bulan edCoustic langsung menempati jawara request favorit salah satu radio di Bandung. Posisi itu bertahan lebih dari satu tahun.
Deden dengan tekun memenuhi undangan tampil disana-sini. Album inilah yang menjadi alasan kami jalan-jalan seantero nusantara. Penerimaan masyarakat terhadap edCoustic kala itu amat baik. Bagi sebuah album indie, pencapaian ini sangat luar biasa.
Selama dua tahun kami sempat mengontrak rumah bersama sekaligus menjadi basecamp edCoustic. Di rumah itulah aku semakin melihat kesungguhan tekadnya. Ia siaran hingga larut malam dan paginya langsung berangkat manggung kesana-kemari. Kadang malah tidak mendapat bayaran.
Meskipun begitu bukannya tanpa ujian. Di awal edCoustic merilis album, penolakan demi penolakan kami hadapi. Maklum kala itu nasyid mainstream adalah nasyid tanpa alat musik sedangkan edCoustic mengusung jenis musik pop. Lantas apa bedanya dengan musik biasa? keluh banyak orang. Bahkan, sempat ada seminar di salah satu perguruan tinggi yang ujungnya mengeluarkan fatwa haram terhadap musik edCoustic. Ada pula radio di Bandung yang mengambil kebijakan tak boleh memutar lagu edCoustic.
Apresiasi positif Deden dapatkan, tetapi rongrongan negatif tak kurang ia peroleh. Deden pernah curhat kalau ia ingin hengkang saja dari dunia nasyid dan pindah ke jalur pop biasa. Berkali-kali ia sampaikan itu. Aku sebenarnya setuju karena bakatnya sekaliber dengan artis nasional, tetapi Deden sendiri yang mengoreksi niatnya dan tetap berada di jalur nasyid.
Pengalaman kami selama di Karisma-ITB menangani dakwah remaja membuat Deden akhirnya tetap kukuh di jalur nasyid. Apalagi segmentasi edCoustic sama persis dengan segmentasi dakwah yang kami lakoni di Salman: remaja. Ia pun bisa berdamai dengan cibiran yang kala itu memang amat keras. Beberapa kali aku malah melihat Deden sampai menangis menghadapi cercaan atas karyanya. Ujian penolakan ini ia dapatkan pada kurun 2005-2007. Selepas itu publik mulai dapat menerima lagu-lagunya.
Hidup layak dari dunia nasyid memang tidak menjanjikan. Setelah Deden menjadi penyiar MQ FM, petugas call center, ia sering jatuh sakit. Melihat kondisi itu aku meminta Deden bekerja di perusahaan yang aku kelola agar ia bisa mengatur ritme kerjanya dengan lebih manusiawi. Maka, di titik ini hubungan kami jadi aneh. Aku adalah manajer edCoustic yang artinya aku bekerja untuknya. Di saat yang sama Deden bekerja untukku. Tetapi itu tak masalah karena persahabatan kami dibangun dengan landasan yang kokoh.
Sukses dengan album pertama, memasuki album kedua Deden meminta agar ia bisa memproduseri langsung album barunya. Sulit memang keputusan itu karena artinya kami harus membiayai penuh seluruh proses, mulai dari produksi, promosi, hingga distribusi. Aku akhirnya memfasilitasi dengan membentuk sebuah perusahaan rekaman kecil. Deden mengajukan nama label indie kami dengan MikaMusik. Aku awalnya tak terima karena Mika itu nama istriku, tetapi Deden bersikeras karena ia merasa nama mikamusik adalah diksi yang asyik. Aku biarkan Deden berkreasi sepenuh hatinya dalam proses pembuatan album keduanya. Meskipun mempertaruhkan dana yang bagiku tak sedikit itu. Deden aku persilakan mengelola albumnya sendiri agar ia mendapat pembelajaran utuh dari awal hingga akhir.
Album kedua edCoustic yang berjudul Sepotong Episode mengulang sukses album pertama. Ini pula yang menjadi jalan ia memperluas jangkauan edCoustic hingga ke negeri jiran. Di saat proses album kedua ini pula Deden mendapat kesempatan luar biasa. Melly Goeslaw kepincut dengan lagunya dan dijadikan soundtrack Film Ketika Cinta Bertasbih. Melly mungkin tak pernah tahu bahwa Deden amat mengidolakannya. Malah jauh sebelumnya, kami sering protes ke Deden karena setiap perjalanan ia selalu menyetel lagu-lagu Melly. Jadi, kesempatan itu amatlah berharga bagi Deden. Aku merasakan euforia Deden kala itu. Ia mentraktir siapa saja yang bisa ia traktir.
Di fase album kedua ini aku berperan sebagai produser eksekutif dan manajer bagi mereka. Namun, pada perjalanannya aku mundur dari peran manajer. Aku melihat Deden dan Eggie sudah amat progresif, mereka bukan lagi mahasiswa pemalu seperti yang aku kenal dulu, Mereka sudah memahami seluk beluk dunia musik, sementara aku merasa cukup mengantarkan mereka hingga titik mereka bisa berlari lebih kencang.
Benar saja, Deden bersama edCoustic-nya kian berkembang. Ia diterima dengan amat baik di Malaysia. Kepopulerannya kian meluas. Pada album ketiganya ia sudah memproduksi sendiri albumnya. Malah sudah berhasil memproduksi beberapa album artis lainnya. Jadi Deden adalah musisi yang berjalan dari tangga pertama. Satu persatu ia lewati dengan penuh kesungguhan. Meski perlahan tapi ia tak kunjung menyerah.
Ia menjadi salah satu pemain kunci dalam industri musik positif di Indonesia. Kehadirannya menginspirasi banyak orang. Tapi aku menjadi saksi bahwa itu semua ia peroleh dengan kegigihan yang luar biasa. Keuletannya dan komitmennya sangat kuat. Visinya menghujam. Tak banyak orang yang bisa bertahan seperti itu.
Kini Deden telah tiada tapi karyanya hidup senantiasa. Selepas mengantar jenazahnya ke pemakaman, aku putar kembali lagu-lagu yang pernah kami perjuangkan dulu. Setiap lagu itu punya cerita, aku mengalami behind the scene seluruhnya. Lewat alunan suaranya aku merasa masih bisa berbincang-bincang dengan Deden.
Selamat jalan teman, musik dan pilihan hidupmu telah menjadi amal jariyah yang insya Allah mengalir deras untukmu. Kita pernah sama-sama membaca surat-surat penggemarmu yang banyak mendapat pelajaran positif hanya dari lagu. Aku yakin hingga saat ini syairmu yang kontemplatif itu bermanfaat bagi banyak orang. Engkau dulu amat sering cerita tema kematian, malah di sebagain lagu-lagumu temanya berjumpa dengan hari akhir. Kini engkau sudah disana, semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulia. Amin…
sumber: http://www.islamedia.web.id/2014/01/belajar-gigih-dari-aden-edcoustics.html
Deden tak hanya dikenal di Indonesia, komunitas nasyid di Malaysia bahkan sangat menghargai sosoknya sebagai pencipta dan penyanyi. Ia mencapai itu dengan jalan penuh liku dan tak mudah. Ini yang ingin aku ceritakan kembali.
Di tengah suasana sedih melepas kepergiannya di usia yang masih tergolong muda (34 tahun), aku justru memutuskan tak lagi merundung meskipun masih belum bisa percaya Deden pergi secepat itu. Pertemanan yang kami jalin jauh sebelum edCoustic terbentuk, meyakinkanku bahwa ada hal lain yang tak banyak orang tahu tentang Deden. Khalayak luas mengenalnya dengan nama Aden edCoustic, aku ikut serta dalam diskusi mengganti nama publikasinya menjadi Aden. Tapi sosok yang kukenang darinya adalah sosok Deden, sang pejuang yang kegigihannya tiada banding.
Kami pertama kali bertemu di Masjid Salman ITB pada tahun 2000. Kami sama-sama aktif di Keluarga Remaja Islam Majid Salman ITB (Karisma-ITB), ia lebih dahulu masuk beberapa bulan, jadi Deden adalah seniorku di Karisma. Deden tergolong aktivis yang apik dalam bekerja. Ia memang bukan pendebat tangguh dalam ajang diskusi, tapi Deden adalah perancang yang sistematis dan pelaksana yang perfeksionis.
Kesanku terhadap Deden pada masa-masa itu adalah, ia mahasiswa IAIN (sekarang UIN) yang amat bersahaja. Senyumnya selalu hadir dalam setiap obrolan membuat lelaki asal Rancaekek ini cepat akrab dengan siapa saja. Ada satu keistimewaan Deden yang tak dimiliki siapapun di Karisma saat itu. Kami sering mendaulatnya tampil ke depan bernyanyi karena di setiap waktu luang Deden kerap berbendang dengan intonasi pelan-pelan. Awalnya Deden membawakan lagu-lagu nasyid yang tengah populer di awal 2000an, rata-rata nasyid dari negeri jiran. Namun pada beberapa kesempatan Deden membawakan lagu gubahannya sendiri. Disanalah kami tertegun, lagu itu begitu menghipnotis. Pilihan diksinya amat dalam dan nadanya asyik di telinga bahkan saat ia bernyanyi tanpa bantuan alat musik sekalipun. Maka, sejak saat itu Deden menjadi penyanyi yang selalu ditodong pada acara-acara Karisma.
Musik memang mengalir dalam darahnya tetapi banyak tak tahu Deden sebenarnya sulit bermain alat musik. Aku ingat, saat bermain gitar, untuk berpindah dari satu kunci ke kunci lain ia masih amat kaku. Tapi di saat yang bersamaan ia sudah mencipta ratusan lagu. Deden mengenal nada bagaikan anak kecil yang akrab dengan aroma ibunya sendiri.
Pada tahun 2002, Deden pernah menginap di kamar kosku yang terletak tak jauh dari Kampus ITB. Sepanjang malam kami ngobrol mengenai musik. Disitulah aku melihat sosok berbeda dari Deden yang aku kenal di Salman ITB. Saat bicara musik, matanya berbinar, hasratnya pada bidang itu tampak amat menggelora. Malam itu pula Deden menunjukkan lagu-lagu hasil ciptaannya sejak ia masih SMA. Total ada tiga buku yang sudah terisi penuh syair-syair lagu, taksiranku jumlahnya lebih dari 400 lagu. Hebatnya, Deden tak pernah merekam nada setiap syair itu tapi ia pasti langsung tahu bagaimana komposisinya saat kutanya bagaimana menyanyikan syair-syair itu?
Diskusi kami malam itu adalah momen awal aku akrab dengan Deden. Setiap bertemu, Deden memang menunjukkan minat yang amat tinggi di bidang musik.
“Aku ingin jadi pencipta lagu dan penyanyi profesional,” ungkapnya. Ini ia ungkapkan ketika Deden berhasil menjuarai lomba cipta lagu Salman. Ia menulis sebuah lagu hymne untuk Salman dan berhasil meraih juara. Melihat hasratnya yang begitu besar aku hanya sumbang saran agar Deden sering-sering ikut sayembara. Dengan kondisinya saat itu nampaknya hanya sayembara yang menjadi satu-satunya pintu pembuka karirnya di bidang musik. Pada titik ini Deden bukanlah siapa-siapa dalam industri musik atau nasyid.
Ternyata Deden serius, bersama Eggie, sahabatnya di kompleks perumahannya dan juga pembina Karisma-ITB mereka ikut sayembara yang akhirnya membuat mereka terpilih dalam sebuah album kompilasi nasyid. Aku ingat sekali momen itu, Deden dan Eggie bak menemukan harta karun. Ia amat senang dan mengulang lagi niatnya ingin menjadi pencipta lagu dan penyanyi profesional.
Kemudian, Deden terlibat dalam beberapa proyek lagu. Misalnya tahun 2003 kami membuatkan album untuk adik bimbingan di Karisma, grup itu bernama Salika, berisi empat remaja SMP yang senang musik. Deden menuliskan hampir sebagian besar lagu untuk mereka. Beranjak lagi, Deden diminta menulis lagu untuk proyek album Hani & Ina (2004).
Pada setiap jenjang pencapaiannya itu Deden selalu cerita betapa ia sangat mensyukuri kesempatan tersebut meskipun perannya hanya di belakang layar. Menjelang proyek album Hani & Ina rampung, Deden mendapat tawaran dari YESS Production membuat album sendiri tetapi dengan syarat harus mencari nama baru bagi grupnya. Disinilah muncul nama edCoustic yang artinya Eggi & Deden berakustik. Seingatku saat itu ia bagai anak kecil yang riang dikasih hadiah mainan. Deden cerita lagi kalau ia sudah maju selankah mencapai impiannya. Sebagai sahabatnya, aku hanya bisa ikut menyemangati saja. Di sana ia sudah bertemu para musisi yang siap mendukung cita-citanya.
Setelah album pertamanya rilis, Deden dan Eggie memintaku bergabung bersama mereka secara formal, yakni menjadi manajer mereka. Sebelumnya aku hanya rekan diskusinya saja. Tawaran itu sebenarnya sempat kutolak karena saat itu pula aku tengah mengurus beasiswa S2 ke luar negeri.
Tetapi aku amat menghargai semangat Deden yang seolah tak pernah mati. Aku melihat ia begitu serius melakoni jalur musik yang ia pilih. Ia memang sudah dibantu oleh musisi profesional, setengah impiannya sudah terwujud. Tetapi Deden kala itu punya alasan ia perlu orang yang membuatnya nyaman menjalani pilihan hidupnya itu. Sebagai mahasiswa yang baru saja lulus, memilih karir di dunia musik, apalagi lagi masih berstatus indie adalah penuh risiko. Rekan-rekan kami yang lulus sudah sibuk mencari kerja sedangkan Deden mempertaruhkan semuanya demi cita-citanya.
Ia sempat menemukan ujian hidup dan terpaksa bekerja sebagai penyiar radio freelance di MQ FM Bandung dan menjadi petugas call center salah satu operator telepon seluler. Semua itu ia lakoni bersamaan dengan cita-citanya di dunia musik.
Aku ingat sekali momen pertama kali lagu edCoustic diputar di radio. Kami bertiga sampai menitikkan air mata haru, senang, dan berpelukan. Ternyata, Album pertama edCoustic dengan tajuk Masa Muda mendapat respon luar biasa. Hanya perlu waktu satu bulan edCoustic langsung menempati jawara request favorit salah satu radio di Bandung. Posisi itu bertahan lebih dari satu tahun.
Deden dengan tekun memenuhi undangan tampil disana-sini. Album inilah yang menjadi alasan kami jalan-jalan seantero nusantara. Penerimaan masyarakat terhadap edCoustic kala itu amat baik. Bagi sebuah album indie, pencapaian ini sangat luar biasa.
Selama dua tahun kami sempat mengontrak rumah bersama sekaligus menjadi basecamp edCoustic. Di rumah itulah aku semakin melihat kesungguhan tekadnya. Ia siaran hingga larut malam dan paginya langsung berangkat manggung kesana-kemari. Kadang malah tidak mendapat bayaran.
Meskipun begitu bukannya tanpa ujian. Di awal edCoustic merilis album, penolakan demi penolakan kami hadapi. Maklum kala itu nasyid mainstream adalah nasyid tanpa alat musik sedangkan edCoustic mengusung jenis musik pop. Lantas apa bedanya dengan musik biasa? keluh banyak orang. Bahkan, sempat ada seminar di salah satu perguruan tinggi yang ujungnya mengeluarkan fatwa haram terhadap musik edCoustic. Ada pula radio di Bandung yang mengambil kebijakan tak boleh memutar lagu edCoustic.
Apresiasi positif Deden dapatkan, tetapi rongrongan negatif tak kurang ia peroleh. Deden pernah curhat kalau ia ingin hengkang saja dari dunia nasyid dan pindah ke jalur pop biasa. Berkali-kali ia sampaikan itu. Aku sebenarnya setuju karena bakatnya sekaliber dengan artis nasional, tetapi Deden sendiri yang mengoreksi niatnya dan tetap berada di jalur nasyid.
Pengalaman kami selama di Karisma-ITB menangani dakwah remaja membuat Deden akhirnya tetap kukuh di jalur nasyid. Apalagi segmentasi edCoustic sama persis dengan segmentasi dakwah yang kami lakoni di Salman: remaja. Ia pun bisa berdamai dengan cibiran yang kala itu memang amat keras. Beberapa kali aku malah melihat Deden sampai menangis menghadapi cercaan atas karyanya. Ujian penolakan ini ia dapatkan pada kurun 2005-2007. Selepas itu publik mulai dapat menerima lagu-lagunya.
Hidup layak dari dunia nasyid memang tidak menjanjikan. Setelah Deden menjadi penyiar MQ FM, petugas call center, ia sering jatuh sakit. Melihat kondisi itu aku meminta Deden bekerja di perusahaan yang aku kelola agar ia bisa mengatur ritme kerjanya dengan lebih manusiawi. Maka, di titik ini hubungan kami jadi aneh. Aku adalah manajer edCoustic yang artinya aku bekerja untuknya. Di saat yang sama Deden bekerja untukku. Tetapi itu tak masalah karena persahabatan kami dibangun dengan landasan yang kokoh.
Sukses dengan album pertama, memasuki album kedua Deden meminta agar ia bisa memproduseri langsung album barunya. Sulit memang keputusan itu karena artinya kami harus membiayai penuh seluruh proses, mulai dari produksi, promosi, hingga distribusi. Aku akhirnya memfasilitasi dengan membentuk sebuah perusahaan rekaman kecil. Deden mengajukan nama label indie kami dengan MikaMusik. Aku awalnya tak terima karena Mika itu nama istriku, tetapi Deden bersikeras karena ia merasa nama mikamusik adalah diksi yang asyik. Aku biarkan Deden berkreasi sepenuh hatinya dalam proses pembuatan album keduanya. Meskipun mempertaruhkan dana yang bagiku tak sedikit itu. Deden aku persilakan mengelola albumnya sendiri agar ia mendapat pembelajaran utuh dari awal hingga akhir.
Album kedua edCoustic yang berjudul Sepotong Episode mengulang sukses album pertama. Ini pula yang menjadi jalan ia memperluas jangkauan edCoustic hingga ke negeri jiran. Di saat proses album kedua ini pula Deden mendapat kesempatan luar biasa. Melly Goeslaw kepincut dengan lagunya dan dijadikan soundtrack Film Ketika Cinta Bertasbih. Melly mungkin tak pernah tahu bahwa Deden amat mengidolakannya. Malah jauh sebelumnya, kami sering protes ke Deden karena setiap perjalanan ia selalu menyetel lagu-lagu Melly. Jadi, kesempatan itu amatlah berharga bagi Deden. Aku merasakan euforia Deden kala itu. Ia mentraktir siapa saja yang bisa ia traktir.
Di fase album kedua ini aku berperan sebagai produser eksekutif dan manajer bagi mereka. Namun, pada perjalanannya aku mundur dari peran manajer. Aku melihat Deden dan Eggie sudah amat progresif, mereka bukan lagi mahasiswa pemalu seperti yang aku kenal dulu, Mereka sudah memahami seluk beluk dunia musik, sementara aku merasa cukup mengantarkan mereka hingga titik mereka bisa berlari lebih kencang.
Benar saja, Deden bersama edCoustic-nya kian berkembang. Ia diterima dengan amat baik di Malaysia. Kepopulerannya kian meluas. Pada album ketiganya ia sudah memproduksi sendiri albumnya. Malah sudah berhasil memproduksi beberapa album artis lainnya. Jadi Deden adalah musisi yang berjalan dari tangga pertama. Satu persatu ia lewati dengan penuh kesungguhan. Meski perlahan tapi ia tak kunjung menyerah.
Ia menjadi salah satu pemain kunci dalam industri musik positif di Indonesia. Kehadirannya menginspirasi banyak orang. Tapi aku menjadi saksi bahwa itu semua ia peroleh dengan kegigihan yang luar biasa. Keuletannya dan komitmennya sangat kuat. Visinya menghujam. Tak banyak orang yang bisa bertahan seperti itu.
Kini Deden telah tiada tapi karyanya hidup senantiasa. Selepas mengantar jenazahnya ke pemakaman, aku putar kembali lagu-lagu yang pernah kami perjuangkan dulu. Setiap lagu itu punya cerita, aku mengalami behind the scene seluruhnya. Lewat alunan suaranya aku merasa masih bisa berbincang-bincang dengan Deden.
Selamat jalan teman, musik dan pilihan hidupmu telah menjadi amal jariyah yang insya Allah mengalir deras untukmu. Kita pernah sama-sama membaca surat-surat penggemarmu yang banyak mendapat pelajaran positif hanya dari lagu. Aku yakin hingga saat ini syairmu yang kontemplatif itu bermanfaat bagi banyak orang. Engkau dulu amat sering cerita tema kematian, malah di sebagain lagu-lagumu temanya berjumpa dengan hari akhir. Kini engkau sudah disana, semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulia. Amin…
sumber: http://www.islamedia.web.id/2014/01/belajar-gigih-dari-aden-edcoustics.html
ConversionConversion EmoticonEmoticon