Mungkin banyak di antara kita yang sudah tidak asing lagi dengan nama
Merry Riana. Muda, cantik dan energik, itulah kesan yang timbul pertama
kali melihat sosoknya. Miliarder muda asal Jakarta ini melejit di dunia
internasional berkat kesuksesan meraup penghasilan satu juta dolar
Amerika Serikat di usia 26 tahun.
Siapa yang menyangka jika pengusaha, penulis, entrepreneur wanita dan motivator kenamaan Indonesia ini dulunya seorang mahasiswa kere (susah). Mahasiswa kere itu kini menjelma menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat luas atas kesuksesannya yang luar biasa.
ini begitu semangat saat berbagi cerita di hadapan ribuan orang tentang lika liku hidup di negeri tetangga hingga dapat mencapai puncak ketenaran seperti sekarang. Merry mengaku sangat bersyukur bisa mendulang keberhasilan di usia muda dengan uang satu juta dolar AS di tangan. Namun di balik itu semua, terselip kisah pahsit yang sampai saat ini membekas di hati dan menjadi pengalaman paling berharga dalam menggapai kesuksesan.
Ia mengaku tidak pernah menyangka bisa mendapat julukan wanita sejuta dolar. Menurutnya banyak orang berasumsi bahwa saya dapat mengantongi satu juta dolar di usia 26 tahun karena keluarga yang kaya. Hal itu tidaklah benar karena Merry bukan dari keluarga konglomerat, atau pun menikah dengan anak konglomerat.
Merry justru berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan dalam sebuah keprihatinan dengan kondisi keuangan pas-pasan. Saat itu tak pernah terbersit sedikitpun dalam benaknya untuk melanjutkan sekolah di Singapura. Namun inilah titik awal dari perjalanan panjang Merry.
Tepatnya di Mei 1998, Merry bercerita bahwa keluarganya terpaksa mengamankan diri dari peristiwa kerusuhan dan krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia. Saat itu, usianya baru menginjak 18 tahun, ia berniat melanjutkan studi di Universitas Trisakti, kampus di mana sang Ayah pernah mengajar.
Karena orang tua khawatir, terutama soal pendidikan Merry, maka mereka mengirimnya ke Singapura. Ia tidak pernah membayangkan bisa sekolah di luar negeri, tinggal saja di Tanjung Priok dekat Pasar Ular Plumpang yang keadaannya serba pas-pasan.
Di Singapura, ia harus kuliah dengan bantuan utang dari pemerintah setempat. Saat itu, pemerintah Singapura memberi uluran bantuan kepada beberapa pelajar di Jakarta yang memiliki prestasi cukup baik. Utangnya untuk biaya kuliah mencapai lebih dari 4.000 Dolar Singapura atau setara dengan lebih dari Rp 400 juta. Tapi hal itulah yang justru membuatnya lebih menghargai perjuangan dari orang tuanya.
Bermodalkan utang tersebut Merry diterima di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Di kampus yang begitu megah dan indah, Merry harus merasakan hidup serba kekurangan di negeri orang. Mahasiswi ini harus bertahan dengan uang 10 Dolar Singapura atau Rp 90 ribu setiap minggunya.
Di tengah perjalanan hidupnya, dia mengaku sempat marah dan kecewa pada Tuhan. Merry harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi seorang diri tanpa keluarga di sampingnya. Beruntung, keputusasaan itu hanya sesaat. Dia akhirnya mampu bangkit dengan tiga hal yang menjadi kekuatan Merry untuk lepas dari kondisi tersebut.
Namun mimpi besarnya untuk mengubah hidup sangatlah kuat seolah ingin mendobrak segala hambatan yang datang di hadapannya. Ia sudah bosan hidup susah, Merry ingin berubah. Ia pun berhenti menyalahkan keadaan dan bertekad sebelum usia 30 tahun, ia harus sudah punya kebebasan finansial, membayar utang, membahagiakan orang tua dan saat kembali ke Indonesia harus jadi orang sukses.
Dengan bekal tekad dan keyakinan itu, Merry melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang banyak diremehkan orang lain. Dia pernah melakoni pekerjaan sebagai pembagi brosur, penjual bunga. Menurutnya di situlah ia diuji dengan celaan dan remehan. Tidak patah semangat ia tetap berjiwa besar, hingga akhirnya memberanikan diri memulai usaha di jasa keuangan dan berjualan di halte bus, stasiun MRT. Saat itu ia bekerja 14 jam selama tujuh hari non stop.
Terakhir, Merry berpesan agar setiap orang tidak takut untuk melakukan perubahan. Tidak harus dalam skala besar tapi bisa dilakukan dalam bentuk yang sederhana. Jika belum bisa melakukan hal besar, lakukan hal kecil dengan jiwa yang besar.
Siapa yang menyangka jika pengusaha, penulis, entrepreneur wanita dan motivator kenamaan Indonesia ini dulunya seorang mahasiswa kere (susah). Mahasiswa kere itu kini menjelma menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat luas atas kesuksesannya yang luar biasa.
ini begitu semangat saat berbagi cerita di hadapan ribuan orang tentang lika liku hidup di negeri tetangga hingga dapat mencapai puncak ketenaran seperti sekarang. Merry mengaku sangat bersyukur bisa mendulang keberhasilan di usia muda dengan uang satu juta dolar AS di tangan. Namun di balik itu semua, terselip kisah pahsit yang sampai saat ini membekas di hati dan menjadi pengalaman paling berharga dalam menggapai kesuksesan.
Ia mengaku tidak pernah menyangka bisa mendapat julukan wanita sejuta dolar. Menurutnya banyak orang berasumsi bahwa saya dapat mengantongi satu juta dolar di usia 26 tahun karena keluarga yang kaya. Hal itu tidaklah benar karena Merry bukan dari keluarga konglomerat, atau pun menikah dengan anak konglomerat.
Merry justru berasal dari keluarga sederhana dan dibesarkan dalam sebuah keprihatinan dengan kondisi keuangan pas-pasan. Saat itu tak pernah terbersit sedikitpun dalam benaknya untuk melanjutkan sekolah di Singapura. Namun inilah titik awal dari perjalanan panjang Merry.
Tepatnya di Mei 1998, Merry bercerita bahwa keluarganya terpaksa mengamankan diri dari peristiwa kerusuhan dan krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia. Saat itu, usianya baru menginjak 18 tahun, ia berniat melanjutkan studi di Universitas Trisakti, kampus di mana sang Ayah pernah mengajar.
Karena orang tua khawatir, terutama soal pendidikan Merry, maka mereka mengirimnya ke Singapura. Ia tidak pernah membayangkan bisa sekolah di luar negeri, tinggal saja di Tanjung Priok dekat Pasar Ular Plumpang yang keadaannya serba pas-pasan.
Di Singapura, ia harus kuliah dengan bantuan utang dari pemerintah setempat. Saat itu, pemerintah Singapura memberi uluran bantuan kepada beberapa pelajar di Jakarta yang memiliki prestasi cukup baik. Utangnya untuk biaya kuliah mencapai lebih dari 4.000 Dolar Singapura atau setara dengan lebih dari Rp 400 juta. Tapi hal itulah yang justru membuatnya lebih menghargai perjuangan dari orang tuanya.
Bermodalkan utang tersebut Merry diterima di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Di kampus yang begitu megah dan indah, Merry harus merasakan hidup serba kekurangan di negeri orang. Mahasiswi ini harus bertahan dengan uang 10 Dolar Singapura atau Rp 90 ribu setiap minggunya.
Di tengah perjalanan hidupnya, dia mengaku sempat marah dan kecewa pada Tuhan. Merry harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi seorang diri tanpa keluarga di sampingnya. Beruntung, keputusasaan itu hanya sesaat. Dia akhirnya mampu bangkit dengan tiga hal yang menjadi kekuatan Merry untuk lepas dari kondisi tersebut.
Namun mimpi besarnya untuk mengubah hidup sangatlah kuat seolah ingin mendobrak segala hambatan yang datang di hadapannya. Ia sudah bosan hidup susah, Merry ingin berubah. Ia pun berhenti menyalahkan keadaan dan bertekad sebelum usia 30 tahun, ia harus sudah punya kebebasan finansial, membayar utang, membahagiakan orang tua dan saat kembali ke Indonesia harus jadi orang sukses.
Dengan bekal tekad dan keyakinan itu, Merry melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang banyak diremehkan orang lain. Dia pernah melakoni pekerjaan sebagai pembagi brosur, penjual bunga. Menurutnya di situlah ia diuji dengan celaan dan remehan. Tidak patah semangat ia tetap berjiwa besar, hingga akhirnya memberanikan diri memulai usaha di jasa keuangan dan berjualan di halte bus, stasiun MRT. Saat itu ia bekerja 14 jam selama tujuh hari non stop.
Terakhir, Merry berpesan agar setiap orang tidak takut untuk melakukan perubahan. Tidak harus dalam skala besar tapi bisa dilakukan dalam bentuk yang sederhana. Jika belum bisa melakukan hal besar, lakukan hal kecil dengan jiwa yang besar.
ConversionConversion EmoticonEmoticon