1 . Sejarah Perkembangan Buku
Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan. Penyampaian informasi, cerita-cerita, nyanyian, do’a-do’a, maupun syair, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Karenanya, hafalan merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semuanya dihafal. Kian hari, kian banyak saja hal-hal yang musti dihafal. Saking banyaknya, sehingga akhirnya mereka kuwalahan alias tidak mampu menghafalkannya lagi. Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya dalam tulisan. Maka, lahirlah apa yang disebut sebagai buku kuno.
Buku kuno ketika itu, belum berupa tulisan yang tercetak di atas kertas modern seperti sekarang ini, melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping batu (prasasti) atau juga di atas kertas yang terbuat dari daun papyrus. Papyrus adalah tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.
Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal tulisan yang disebut hieroglif. Tulisan hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno bentuk hurufnya berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk gulungan ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.
Selain Mesir, bangsa Romawi juga memanfaatkan papyrus untuk membuat tulisan. Panjang gulungan papyrus itu kadang-kadang mencapai puluhan meter. Hal ini sungguh merepotkan orang yang menulis maupun yang membacanya. Karena itu, gulungan papyrus ada yang dipotong-potong. Papyrus terpanjang terdapat di British Museum di London yang mencapai 40,5 meter.
Kesulitan menggunakan gulungan papyrus, di kemudian hari mengantarkan perkembangan bentuk buku mengalami perubahan. Perubahan itu selaras dengan fitrah manusia yang menginginkan kemudahan. Dengan akalnya, manusia terus berpikir untuk mengadakan peningkatan dalam peradaban kehidupannya. Maka, pada awal abad pertengahan, gulungan papyrus digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras yang dinamakan codex.
Perkembangan selanjutnya, orang-orang Timur Tengah menggunakan kulit domba yang disamak dan dibentangkan. Lembar ini disebut pergamenum yang kemudian disebut perkamen, artinya kertas kulit. Perkamen lebih kuat dan lebih mudah dipotong dan dibuat berlipat-lipat sehingga lebih mudah digunakan. Inilah bentuk awal dari buku yang berjilid.
Di Cina dan Jepang, perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya seperti lipatan-lipatan kain korden.
Buku-buku kuno itu semuanya ditulis tangan. Awalnya yang banyak diterbitkan adalah kitab suci, seperti Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan.
Di Indonesia sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. Buku kuno itu ditulis di atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu lalu dijilid hingga membentuk sebuah buku.
Perkembangan perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang sampai sekarang masih digunakan sebagai bahan baku penerbitan buku. Pencipta kertas yang memicu lahirnya era baru dunia perbukuan itu bernama Ts’ai Lun. Ts’ai Lun berkebangsaan Cina. Hidup sekitar tahun 105 Masehi pada zaman Kekaisaran Ho Ti di daratan Cina.
Penemuan Ts’ai Lun telah mengantarkan bangsa Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada abad kedua, Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia.
Sebagai tindak lanjut penemuan kertas, penemuan mesin cetak pertama kali merupakan tahap perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia perbukuan. Penemu mesin cetak itu berkebangsaan Jerman bernama Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg.
Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan ditulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibentuk menjadi kata atau kalimat. Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan mesin cetak. Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu agak lama karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.
Gutenberg memulai pembuatan mesin cetak pada abad ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan abad ke-20.
2. Buku di Era Modern
Di era modern sekarang ini perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser hingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).
Semua penemuan menakjubkan itu telah menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.
Bahkan sampai sekarang ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, sebab tak tersedia data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan lembaga ini.
Namun, dari pengamatan sekilas saja, kita akan dapat segera menyimpulkan, betapa penerbit-penerbit buku saat ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di berbagai kota di negeri ini, maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku baru terbit silih berganti bak musim semi dengan beragam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari berbagai penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari penerbit kecil yang baru merintis dan masih kembang-kempis.
Animo masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laris manis diserbu masyarakat.
Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang nyaris 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bagi seorang muslim da’i yang memiliki komitmen dengan dakwah, kondisi di atas akan dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Menulis buku-buku bernuansa dakwah adalah pilihan yang sudah selayaknya untuk dilakukan. Agar buku benar-benar menjelma fungsinya sebagai pencerdas dan pencerah umat, bukan sebaliknya.
BY Aldy
( sumber Penulis sukses.com )
ConversionConversion EmoticonEmoticon